Gambut sangat menarik untuk diteliti dengan beragam biodeversitasnya.
Saudah
Pojok Gambut– Muda dan energik, itulah kesan pertama ketika melihat sosoknya. Suaranya khas dan dalam, dengan nada bicara tegas. Sebagaimana aktivis lingkungan lainnya, Saudah memiliki harapan besar terhadap masa depan gambut Aceh.
Tepatnya setahun yang lalu, hatinya tergerak dan mulai konsen tehadap gambut. Kebakaran gambut di Riau menyadarkan Saudah perlunya melindungi lahan gambut untuk penyelamatan ekosistem dan pencegahan pemanasan global. Selain itu, ia juga menyadari pentingnya menjaga gambut dari deforestasi (hilangnya hutan akibat kegiatan manusia) bagi kehidupan yang berkelanjutan.
Meski baru setahun fokus menjadi aktivis gambut, Saudah memiliki perjalanan panjang mengenai penelitian terkait Etnobotani, sebuah kajian tentang hubungan antara manusia dan tumbuhan. Mulai yang digunakan, dikelola, hingga dipersepsikan dalam masyarakat, baik sebagai makanan, obat, praktik keagamaan dan sebagainya.
Beberapa kajian menarik Saudah antara lain berjudul, Eksplorasi Tumbuhan Zingiberaceae Pada Suku Aceh. Istilah Zingiberaceae terdengar asing bagi masyarakat padahal tumbuhan tersebut telah dimanfaatkan turun temurun oleh masyarakat Indonesia dan Aceh secara khusus.
Rimpang-rimpangan seperti jahe, kunyit, temulawak, kencur termasuk dalam suku Zingiberaceae. Berdasarkan berbagai penelitian secara botani, suku Zingiberaceae terdiri dari 52 marga dan lebih dari 1300 jenis, yang tersebar di seluruh dunia. Berkahnya, mereka tumbuh subur di seluruh wilayah nusantara, termasuk Aceh.
Dalam penelitian yang dilakukan perempuan muda ini, mengkaji mengenai bagaimana masyarakat Aceh mengeskporasi berbagai jenis dari suku Zingiberaceae. Penelitian lain yang tak kalah menarik adalah Etnofarmakologi Tumbuhan Obat Tradisional Pasca Melahirkan Suku Aceh.
Menurut Martin (1998), etnofarmakologi merupakan kajian tentang penggunaan tumbuhan yang berfungsi sebagai obat atau ramuan yang dihasilkan penduduk setempat dengan tujuan pengobatan.

Penelitiannya yang lain di antaranya berjudul Biodiversitas Tumbuhan Obat Tradisional Di kabupaten Pidie. Pemanfaatan limbah kulit durian menjadi bioetaanol dan cuka organic dengan menggunakan Sacharomyces cerevisiae. Pemberdayaan Masyarakat dalam Memanfaatakan Limbah Kulit Bonggol jagung dan kulit Durian Sebagai Biobriket yang ramah lingkungan, dan berbagai kajian menarik lainnya yang akan dan telah dilakukan oleh Saudah kian menambah khazanah keilmuan.
Saudah memiliki alasan kuat untuk berjuang di bidang gambut, terutama karena lahan gambut kaya akan karbon dan keanekaragaman hayati.
Menurutmya, hal tersebut yang belum banyak disadari, padahal aset untuk wilayah gambut sendiri. Terjaganya kawasan gambut, maka ekonomi masyarakat juga akan meningkat, dengan memanfaatkan keaneragaman atau sumber daya di wilayah gambut.
Saudah menilai, sampai saat ini potensi gambut Aceh tergolong masih sangat baik. Gambut Aceh, menurutnya juga sangat berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata.
Pengembangan ini diharapakan mampu untuk meningkatkan taraf hidup, serta memberikan edukasi kepada masyarakat dalam mengenal gambut, sehingga gambut tetap terjaga dan lestari.
Perempuan kelahiran Kumbang Waido, September 1986 ini menuturkan, tantangan yang paling berat selama bergabung menjadi aktivis gambut Aceh adalah menyadarkan masyarakat akan potensi dari lahan gambut itu sendiri.
Terlebih dengan dengan kondisi gambut Aceh saat ini, jika deforestasi dan alih fungsi hutan terus menerus terjadi, akan mengakibatkan hilangnya fungsi lahan gambut.
“Hal ini tidak hanya berdampak pada ekositsem gambut, tapi juga terhadap ekonomi masyarakat,” sesal Saudah.
Namun ia optimis, jika pemberdayaan masyarakat sekitar gambut terus dilakukan, pemerintah juga memberikan dukungannya, maka gambut Aceh akan terjaga.
Secara spesifik Saudah menjelaskan, sangat diperlukan pembinaan dan fasilisatator pendamping di setiap kecamatan yang bertugas mendampingi kelompok masyarakat dalam proses mencari alternatif komoditas dan sumber mata pencaharian. Misalnya, pemberdayaan masyarakat pada bidang perikanan dan bidang lainnya.
“Upaya pemberdayaan dapat dilakukan sesuai dengan potensi masyarakat, sehingga pemberdayaan dapat dikembangkan,” terangnya.
Saudah optimis untuk terus belajar dan melalukan pemberdayaan dalam melestarikan gambut. Terlebih, gambut menyimpan biodeversitas (keanekaragaman hayati) yang sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian dalam pengembangan ilmu pengetahuaan.
“Gambut sangat menarik untuk diteliti dengan beragam biodeversitasnya,” tutup Saudah.
Monalisa, selaku pendiri serta Pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA), menyatakan kekagumannya pada semangat Saudah.
Dalam pandangannya, Saudah adalah seorang perempuan akademisi muda Aceh yang memiliki “passion” tentang pekerjaan, cita – cita dan harapan.

“Khususnya yang menjadi konsentrasinya saat ini, yaitu di bidang Etnobotani,” ujar Mona.
Menurut Mona, di Aceh masih sedikit akademisi yang fokus pada kajian etnobotani. Karenanya ia menganggap, riset-riset yang dilakukan Saudah sangat bermanfaat, terutama terkait kelestarian ekosistem kawasan hutan.
“Karena sumber obat-obatan alami ada di dalam dan sekitar kawasan hutan di Aceh,” ungkapnya. Monalisa mengenai sosok Saudah.
Bagi Monalisa, kehadiran, keterlibatan dan sumbangan tenaga, serta pikiran Saudah sebagai peneliti di JMGA, menjadi semacam pemantik semangat bagi bagi dirinya dan tim, dalam membina organisasi dan masyarakat gambut di Aceh.
Selain itu, kehadiran sosok Saudah, juga menjadi spirit baru bagi generasi muda Aceh. Baik dalam melestarikan ekosistem gambut, maupun berjejaring dalam organisasi gambut di tingkat local dan nasional.(*)
——————————————————————————————————————————————–
Penulis: Mellyan
Editor: Junaidi Mulieng