Menguatkan Perempuan Akar Rumput

Bahwa perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk mengakses informasi dan bisa melakukan perlawanan jika ada deskriminasi.

Rubama

POJOK GAMBUT | Kursi biru dengan meja berbentuk leter U yang dibalut kain hijau muda dan plastik bening, tertata rapi di sisi kanan ruangan Wisma Syariah, Kabupaten Nagan Raya. Satu per satu, puluhan wanita muda mulai memenuhi ruangan yang didominasi warna ungu itu.

“Selamat siang semua, masih semangat!” teriak wanita muda itu.

Namanya Rubama, 36 tahun. Kulitnya sawo matang, nada bicaranya tegas dan teratur. Ia mengenakan blus dan celana panjang putih. Dipadu dengan rompi dan kerudung segi empat orange tua.

Hari itu, Rabu, 21 Oktober 2020, Rubama sedang memberikan pengantar untuk para peserta pelatihan dasar lingkungan hidup bagi kelompok perempuan di Aceh. Dengan penuh semangat, ia meneriakkan yel-yel untuk mencairkan suasana.

“Tepuk salut..! Salut salut..! Saaaaluuut..!” seru Rubama, diikuti sahutan serentak para peserta yang menggetarkan seisi ruangan.

Rubama menjelaskan, pelatihan penguatan kapasitas bagi kelompok perempuan akar rumput (grassroot) ini muncul, karena masih minimnya akses informasi dan kontrol terkait sumber daya alam dan lahan yang diperoleh kelompok masyarakat. Terutama pengetahuan hukum tentang hak-hak yang sebenarnya dimiliki oleh masyarakat, khususnya terhadap lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Menurutnya, masyarakat butuh informasi terkait kepastian hukum, pembelaan hukum dan lainnya. Namun pada kenyataannya, informasi itu tidak ada sama sekali, khususnya di beberapa tempat di Aceh.

“Karenanya, kegiatan ini dirancang untuk kebutuhan perempuan di grassroot, bahwa harus ada penguatan hukum,” ujar penggagas Wisata Gampong Nusa itu.

Rubama mengatakan, sebenarnya hal itu menjadi tanggungjawab pemerintah untuk membuat kapasitas bagi seluruh warga negara.

“Khususnya kelompok perempuan, yang saat ini sangat termarjinalisasi oleh budaya patriarki yang kemudian menyudutkan langkah perempuan,” sambungnya.

Ia menuturkan, ini merupakan tahun ketiga paralegal dilaksanakan dengan mengelilingi seluruh Aceh. Kegiatan itu diharapkan dapat memberikan penguatan pemahaman kepada kelompok perempuan.

“Bahwa perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk mengakses informasi dan bisa melakukan perlawanan jika ada deskriminasi,” tegas Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-raniry Banda Aceh ini.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan salah satu hak asasi manusia yang secara tegas diamanatkan dan diatur dalam pasar 28H Undang-undang Dasar 1945.

Rubama berpendapat, sumber mata air, hutan, tanah dan lainnya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan perempuan. Namun, hak-hak tersebut hanya ada dalam undang-undang, masyarakat sebagai pemilik hak tidak pernah mengetahui hal tersebut.

“Karenanya kebutuhan pengetahuan dan pengembangan kemampuan seorang individu yang bergerak bersama-sama dalam sebuah gerakan, sangat penting untuk ditingkatkan,” terangnya.

Menurutnya, paralegal akan sangat berfungsi untuk membahas persoalan-persoalan dalam kelompok. Bahkan menjadi kunci dan mesin gerakan dalam memberikan penguatan organisasi masyarakat yang melakukan pendokumentasi hukum dan melakukan pelaporan-pelaporan.

Rubama menambahkan, hari ini dengan adanya undang-undang keterbukaan informasi publik, negara telah memberi ruang kepada setiap orang untuk mendapatkan akses informasi, termasuk perumpuan.

MONALISA. FOTO: BASAJAN.NET/NURUL FAHMI.

Kegiatan yang berlangsung hingga Kamis, 22 Oktober 2020 itu, diadakan Forum Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam (FP2SDA) bekerjasama dengan Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) dan CSO lainnya. Diikuti oleh peserta dari enam desa di Kabupaten Nagan Raya, yaitu Desa Alu Rambot, Karang Anyer, Sumber Bakti, Pulo Krut, Alue Raya dan Lami. Selain Rubama, kegiatan hari itu juga diisi oleh aktivis lingkungan lainnya, Monalisa.

Monalisa mengatakan, segala bentuk pengelolaan sumber daya alam di Indonesia ada dalam undang-undang, seperti yang tersebut pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Di mana pasal tersebut dapat dimaknai, jika pengelolaan sumber daya alam di Indonesia berpusat pada kekuasaan yang besar dari negara. Mulai dari penguasaan, pemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam.

Ia menyampaikan, peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam sudah terlihat. Namun ketiadaan pengaturan yang adil, baik secara sosial dan lingkungan yang dikeluarkan pemerintah, menyebabkan adanya perpindahan penguasa atas sumber daya alam dari tangan rakyat.

“Kondisi seperti ini kemudian menyingkirkan sebagian besar rakyat dari sumber penghidupan. Terlebih di desa, wanita menghadapi tekanan ganda dalam dalam persoalan tersebut,” terangnya.

Monalisa menyebutkan, di antara persoalan yang dihadapi perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam adalah adanya tekanan dari pihak luar yang sebagian besar telah mengambil alih sumber daya alam sebagai sistem penghidupan mereka.

Selain itu, budaya kehidupan patriarki perempuan juga dihadapkan dengan ketidakadilan internal yang tercipta sebelum para pihak luar datang menguasai sumber daya alam mereka.

“Ada orang yang mengambil manfaat di atas penderitaan orang lain. Sebagai perempuan, kita harus menyadari itu. Jangan sampai kita yang memiliki lahan, orang lain yang mendapatkan uang,” kata Monalisa.

Pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) itu menuturkan, perempuan juga berperan penting dalam menjaga lingkungan untuk membangun Aceh, dengan tidak melanggar adat istiadat yang ada. Karenanya diperlukan satu sistem yang dapat mengatur itu semua.

Monalisa menyebutkan, ada beberapa peran yang dapat dilakukan perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam. Seperti, mengurangi pemakaian kosmetik dalam skala besar. Sisa-sisa bahan kosmetik yang telah digunakan, juga dapat dimanfaatkan untuk didaur ulang.

Mengurangi pemakaian deterjen berlebihan dan mengontrol pembuangan air limbah sabun dengan cara menampung di tempat tertentu, agar tidak langsung terbuang ke tanah. Mengendalikan produksi sampah plastic, dengan cara menghemat plastik saat berbelanja di pasar, dengan membawa tas yang dapat dipakai berulang-ulang.

Selain itu, juga dapat mengurangi sampah botol plastik minum, dengan cara membawa bekal minuman kemana pun pergi dan menjadikan itu sebagai suatu kebiasaan untuk keluarga.

Anggota panitia kegiatan, Rahmi Mahzalena mengatakan, keinginannya untuk mengikuti kegiatan tersebut karena dirinya terdorong untuk membangun desanya yang belum bisa memanfaatkan limbah sampah plastik untuk dijadikan bahan olahan.

Ia menyampaikan, selain meningkatkan wawasan, kegitan itu juga dapat menjalin silaturahmi dengan perempuan lainnya untuk meningkatkan kekompakan dan kesadaran dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di desa.

Hal berbeda disampaikan Juliana, peserta pelatihan. Menurutnya, kegiatan yang pertama kali diikutinya itu banyak memberikan pengetahuan tentang tindak pidana dan pelanggaran HAM, serta cara untuk pemanfaatan sumber daya alam dengan baik.

“Semoga pemerintah lebih peka terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan kepada masyarakat, terlebih mereka yang hidup berdampingan dengan perusahaan,” harap warga Alue Raya itu.[]

Tulisan ini sudah pernah tanyang di Basajan.net

Wartawan: Mariani

Editor: Junaidi Mulieng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *