Terhitung Februari 2021 saja, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mencatat telah terjadi 37 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Aceh
POJOK GAMBUT- Kabut asap kembali menutupi sebagian wilayah Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. Pemandangan semacam ini bukan lagi hal yang aneh, hampir saban tahun terjadi. Penyebabnya tak lain karena kebakaran lahan dan hutan di kawasan ini.
Meski telah berkali-kali diingatkan agar tidak membakar lahan, terutama di musim kemarau, namun masyarakat tetap membuka lahan dengan cara membakar. Akibatnya, kebakaran lahan dan hutan pun tak dapat dihindari, bahkan seperti telah menjadi petaka tahunan yang “sengaja diundang.”
Terhitung Februari 2021 saja, Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mencatat telah terjadi 37 kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang tersebar di beberapa kabupaten/kota di Aceh. Total hutan dan lahan yang terbakar mencapai 107 hektare. Hal yang menyesakkan, sebagian besar lahan yang terbakar tersebut adalah lahan gambut.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) paling banyak terjadi di di Kabupaten Aceh Barat Daya mencapai enam kali. Disusul Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan masing-masing empat kali.
Luas lahan terbakar yang paling besar terjadi di Kabupaten Aceh Selatan. Tersebar pada tujuh desa di enam kecamatan, dengan total lahan terbakar mencapai 56 hektare, dengan prediksi kerugian mencapai Rp14,9 miliar. Di Aceh Barat, luas lahan yang terbakar mencapai lima hektare lebih, yang terletak di Gampong Peunaga Cut Ujong, Kecamatan Meureubo.
Kepala Pelaksana BPBA, Ilyas dalam keterangannya menyampaikan, Kabupaten Aceh Barat Daya menjadi wilayah yang paling banyak mengalami kejadian bencana pada Februari 2021, yaitu sembilan kali. Didominasi karhutla sebanyak enam kali kejadian. Selanjutnya diikuti Kabupaten Aceh Selatan dan Gayo Lues, masing-masing delapan kali kejadian yang juga didominasi karhutla.
Memasuki Maret, hal serupa masih terjadi. Di Gayo Lues, seluas empat hektare lahan terbakar. Sedangkan di Kabupaten Aceh Barat, tepatnya di Gampong Gunong Pulo, Kecamatan Arongan Lambalek, jumlah lahan yang terbakar hingga Kamis, 11 Maret 2021, sudah mencapai tiga hektare. Sampai saat ini petugas masih berjibaku memadamkan api.
Minimnya penindakan yang dilakukan terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan di Aceh, membuat kejadian tersebut terus berulang. Padahal, sanksi bagi pelaku secara jelas disebutkan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Para pelaku, baik perseorangan maupun korporasi dapat dikenakan ancaman hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp10 miliar.
Sumbangan Emisi Karbon Dunia
Berdasarkan data Margono et al. (2014), Indonesia memiliki kurang lebih 92 juta hektar hutan hujan primer, termasuk 22 juta hektar lahan gambut. Jumlah tersebut merupakan 80 persen dari lahan gambut tropis di Asia. Lahan gambut di Indonesia menyimpan 132 gigaton karbon, jika dibandingkan dengan Amazon, hutan hujan terbesar di dunia dengan luas lebih dari 500 juta hektar yang menyimpan 168 gigaton karbon.
Wetlands International Indonesia menyebutkan, lahan gambut memiliki kemampuan menyerap karbon dioksida (CO2, jika lahan gambut mengalami kerusakan, maka karbon akan terlepas ke atmosfir dan menjadi CO2 yang termasuk salah satu penyebab efek gas rumah kaca dan berefek terhadap perubahan iklim.
Menjadi tanggungjawab kita bersama untuk menjaga lahan gambut demi masa depan umat manusia. Karena pada dasarnya, lahan gambut memiliki kemampuan menyimpan dan memelihara air dalam jumlah besar, mitigasi banjir, dan menjaga ketersediaan pasokan air bersih.
Berkah dari kemampuan lahan gambut menjaga bumi dari kerusakan iklim, ternyata tidak berbanding lurus dengan perlakuan manusia terhadap lahan gambut. Saat ini, lahan gambut dibuka untuk kelapa sawit dan industri pulp, kertas dengan tingkat kecepatan yang luar biasa. Sebelum ditanami, lahan gambut dikeringkan untuk mengurangi tinggi muka air.
Berdasarkan data dari Naskah dan Konsep Pengelolaan Lahan Gambut di Rawa Singkil, oksidasi ini melepaskan sejumlah besar karbon dioksida ke atmosfer. Drainase lahan gambut di Asia Tenggara, berkontribusi hingga tiga persen pada emisi global karbon dioksida saat ini, yang terutama dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil.
Persoalan lain muncul, ketika drainase yang terus berlangsung dan paparan sinar matahari menghasilkan materi organik kering yang kaya karbon dan sangat mudah terbakar. Apalagi ketika pembersihan lahan gambut terdrainase dilakukan dengan cara dibakar, yang kemudian melepaskan sejumlah besar kabut asap beracun yang mengakibatkan kerusakan iklim dan pemanasan global, ditambah persoalan kesehatan dan ekonomi.
Sebagai gambaran, dampak kebakaran hutan di Indonesia pada tahun 2015, satu dari bencana lingkungan terburuk di abad ke-21. Sebagai ilustrasi, nilai kerugian gabungan dari tujuh juta orang yang terdampak oleh bencana Chernobyl dan kerugian ekonomi bencana Exxon Valdez dan Bhopa diperkirakan lebih dari USD 4,5 milyar. Nilai tersebut jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan estimasi dampak kebakaran di Indonesia (Naskah dan Konsep Pengelolaan Lahan Gambut di Rawa Singkil).
Chernobyl adalah bencana kecelakaan reaktor nuklir terburuk dalam sejarah. Tahun 1986 silam, reaktor nomor empat di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Chernobyl, Uni Soviet di dekat Pripyat, Ukraina meledak. Akibatnya, isotop radioaktif dalam jumlah sangat besar tersebar ke atmosfer di seluruh kawasan Uni Soviet bagian barat dan Eropa. Sekitar 500.000 tenaga dilibatkan untuk menanggulangi bencana tersebut.
Tragedy kapal tanker Exxon Valdez menabrak terumbu karang menjadi salah satu bencana lingkungan terburuk. Pada 4 Maret 1989, 42 juta liter minyak mentah tumpah dan harus mencemari pantai sepanjang 1.990 kilometer. Sedangkan Bhopa adalah peristiwa topan yang melanda Filiphina dan menewaskan lebih dari 270 orang dan mencederai ratusan lainnya.
Dikutip dari Stats.oecd.org, anggaran yang dikeluarkan Indonesia antara Agustus dan Oktober 2013 untuk mengatasi kebakaran dan mitigasi dampak kabut asap, digabungkan dengan estimasi kerugian ekonomi dari bencana itu sendiri, jauh melebihi jumlah anggaran yang diperlukan untuk menyediakan 120 juta orang miskin di Indonesia dengan layanan sanitasi dasar, air dan limbah.
Meski kebakaran lahan gambut yang terjadi selama ini berhasil dipadamkan, namun hal tersebut tidak serta merta dapat mengembalikan kondisi gambut yang telah rusak. Tak hanya itu, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi juga berefek pada kesehatan dan ekonomi. Perlu kesadaran dan tanggungjawab bersama untuk menjaga hutan dan lahan gambut demi masa depan dunia. (*)
——————————————————————————————————————————————————
Penulis: Mellyan
Editor: Junaidi Mulieng