Hujan Ekstrim dan Banjir di Aceh karena Alih Fungsi Lahan
Karena ketidakmampuan bumi menyerap dan mengalirkan air ke laut.
Yopi Ilhamsyah
POJOK GAMBUT | Pakar Klimatolog Terapan dan Kepala Laboratorium Meteorology Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Yopi Ilhamsyah menyebutkan, hujan ekstrim yang terjadi di Aceh dalam beberapa pekan terakhir dikarenakan adanya perubahan kondisi alam.
Menurutnya, deforestasi (penebangan hutan), alih fungsi lahan dan illegal logging, berpengaruh terhadap kondensasi air di awan.
“Akibatnya, hujan masif akan turun di wilayah yang suhu dan tekanan tinggi,” ujar Yopi, pada Seminar Nasional Cuaca Ekstrim dan Bencana Banjir, Selasa, 19 Mei 2020.
Seminar yang berlangsung secara daring melalui aplikasi Zoom itu, dilaksanakan Pusat Riset Perubahan Iklim (PRPI) Unsyiah, Pusat Riset Konservasi Gajah dan Biodiversitas Hutan (PR-KGBH) Unsyiah, Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah dan Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Unsyiah.
Kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Keanekaragaman Hayati Dunia pada tanggal 22 Mei 2020 mendatang. Diikuti 500 peserta dari berbagai kalangan di Indonesia ini, secara khusus membahas tentang perkembangan terkini cuaca ekstrim yang melanda berbagai daerah di Indonesia, khususnya di Aceh.
Yopi menyebutkan, pada hujan ekstrim yang melanda Banda Aceh beberapa minggu lalu, sekitar 2.4 miliar galon air jatuh ke bumi, sehingga menyebabkan banyak daerah terdampak banjir.
“Karena ketidakmampuan bumi menyerap dan mengalirkan air ke laut,” paparnya.
Selain Yopi Ilhamsyah, seminar juga diisi dua pemateri lainnya, Ketua Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah, Dahlan dan Kabid Perlindungan dan KSDA Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, M. Daud.
Dalam paparannya, Dahlan mengatakan, bencana banjir dapat ditanggulangi apabila tataruang dan manajemen Daerah Aliran Sungai (DAS) antara hulu dan hilir dapat dikelola dengan baik.
Ia menyampaikan, pentingnya para pihak (stakeholder) berperan aktif menjaga hutan, sehingga ancaman banjir menjadi berkurang di seluruh Indonesia.
“Apabila kondisi DAS dengan proporsi kawasan hutan yang kecil bahkan tidak ada, maka kegiatan agroforestry (kebun campuran) dan hutan rakyat harus digalakkan,” kata Pakar Kehutanan dan Data Spasial Unsyiah ini.
Sementara itu, Kabid Perlindungan dan KSDA Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, M. Daud mengatakan, tanggung jawab menjaga hutan dan penanggulangan bencana alam banjir, bukan hanya tugas pemerintah semata.
“Seluruh komponen masyarakat, aktivis dan swasta harus terlibat, sehingga tujuan kelestarian dan perlindungan hutan menjadi semakin efektif dan efisien.” ujarnya.
Menurutnya, pemerintah telah memberikan beberapa metode untuk mengantisipasi perubahan iklim, seperti metode soft berupa imbauan untuk menggalakkan penghijauan di berbagai wilayah untuk mengurangi efek emisi rumah kaca.
Selain itu, pemerintah juga ada metode hard, berupa pajak karbon terhadap industri yang mengeluarkan emisi karbon.
“Namun metode kedua ini belum diterapkan karena berbagai pertimbangan,” ucap M. Daud. (*)
Tulisan ini sudah pernah tanyang di Basajan,net
Editor: Junaidi Mulieng