Tantangan lainnya adalah perbedaan pandangan atau pola pikir masyarakat tentang fungsi gambut itu sendiri.
Masyithah
POJOK GAMBUT | Perawakannya mungil, berkulit putih bersih, namun perempuan muda itu tak segan turun ke rawa-rawa hingga sungai, terbakar teriknya matahari untuk menghilangkan rasa penasarannya mengenai segala seluk beluk dan potensi tanah gambut.
Masyithah baru genap berusia 26 tahun. Gadis itu memutuskan bergabung dengan Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) sejak 2019 silam. Tujuannya mulia, untuk melindungi dan mendukung pengembangan potensi gambut, terutama di Aceh.
Menurutnya, kerusakan ekosistem gambut saat ini cukup memprihatinkan. Aceh memiliki kawasan gambut yang cukup luas, namun berbagai permasalahan lahan gambut masih kerap muncul. Antara lain, masih ada masyarakat yang tidak teredukasi mengenai potensi dan bagaimana merawat lahan gambut dengan baik, menanam tanaman yang sesuai di lahan gambut dan persoalan lainnya seperti pengrusakan hingga kasus kebakaran lahan gambut.
“Kondisi dan keadaan tersebut menjadi alasan kuat bagi saya ingin berjuang untuk gambut,” ujar perempuan kelahiran 30 Juli 1995 itu.
Menurutnya wilayah gambut Aceh yang tergolong luas memiliki potensi besar untuk keberlangsungan kehidupan masyarakat. lahan gambut Aceh terbentang mulai dari pantai Barat Selatan Aceh yang meliputi Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil dan Kota Subulussalam.
“Tinggal bagaimana kepedulian dan tanggungjawab kita, untuk menjaga serta mengelolanya agar terus terjaga,” ucap wanita yang akrab disapa Masyi itu.
Selama aktif bergabung di JMGA, Masyi melakukan pemantauan langsung ke lapangan, menurutnya tantangan yang paling berat dihadapi adalah ketika menghadapi masyarakat yang kontra terhadap restorasi gambut,
“Tantangan lainnya adalah perbedaan pandangan atau pola pikir masyarakat tentang fungsi gambut itu sendiri,” jelas Masyi.
Masyi menambahkan, dengan potensi gambut Aceh yang luar biasa, jika masyarakat dapat memanfaatkannya dengan baik, maka gambut dapat menjanjikan sumber penghidupan yang layak bagi masyarakat, terutama untuk penguatan ekonomi.
Menjadi tugas bersama bagaimana membangun kesadaran masyarakat untuk mengelola dan pemanfaatan lahan gambut dengan metode yang tepat, sehingga menjadi kunci agar gambut Aceh terjaga sekaligus dapat mendorong perekonomian masyarakat tanpa merusak gambut itu sendiri.
Masyitah menyayangkan sikap dan perilaku sebagian masyarakat Aceh yang belum memanfaatkan potensi gambut dengan bijaksana. Sehingga masyarakat tidak mendapatkan potensi melainkan mudharat, seperti kasus kebakaran dan berkurangnya kualitas tanah gambut.
Masyi menuturkan, pemberdayaan masyarakat sekitar gambut sangat diperlukan, seperti edukasi dan pembinaan dengan sistem yang baik agar kawasan gambut tetap terjaga dan dapat dinikmati hingga generasi mendatang.
Alumni Universitas Syiah Kuala, Jurusan Teknik Kebumian, Prodi Teknik Geofisika itu memiliki berbagai pengalaman menarik selama aktif di Jaringan Gambut Aceh, di antaranya memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru terutama mengenai gambut.
Hal lain yang membuatnya bangga adalah dapat mengenal sosk-sosok hebat yang masih punya rasa kepedulian akan pentingnya ekosistem gambut.
“Saya sendiri masih baru di dunia gambut, banyak hal yang belum saya ketahui, karenanya saya perlu banyak belajar, ” tutur wanita asal Banda Aceh itu.
Selain di JMGA, Masyi yang juga aktif sebagai anggota Sahabat Alam Lestari (SALi). (*)
———————————————–
Editor: Mellyan