Gambut untuk Kehidupan
Butuh puluhan ribu tahun terbentuknya lahan gambut, namun hanya butuh waktu singkat untuk merusaknya.
Pojok Gambut
Pojok Gambut- Sepuluh hingga empat puluh ribu tahun lalu, lahan gambut terbentuk secara alami dari sisa-sisa tumbuhan berkayu. Terurai tidak sempurna dan menumpuk di satu tempat.
Tanaman-tanaman di sekitar danau, sedikit demi sedikit membentuk lapisan yang tebal dan basah. Genangan air pada lahan gambut mempercepat proses penguraiannya. Tanah gambut kaya akan bahan organik. Proses yang berlangsung puluhan ribu tahun inilah, membentuk lahan gambut yang kita kenal sekarang.
Menurut Asian Wetland Beraue dan Ditjen PHPA (1993), dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan, hutan rawa gambut merupakan ekosistem unik yang mempunyai ciri-ciri selalu tergenang air. Komposisi jenis pohon beraneka ragam, mulai dari tegakan sejenis Calophyllum inophyllum Mix, sampai tegakan campuran. Lapisan gambut terdapat pada lantai hutan, mempunyai perakaran yang khas dan dapat tumbuh pada tanah yang bersifat asam.
Tanah Gambut bersifat irreversible; mudah kering dan rusak. Ketika rusak, sulit untuk kembali seperti semula. Gambut menyimpan 550 Gigaton C pada biomassa tanaman, serasah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum).
Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan luas lahan gambut hanya meliputi tiga persen dari luas daratan di seluruh dunia.
“Namun biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi,” ujar Monalisa, saat memberi materi pada Sekolah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), 4 Oktober 2019 silam.
Gambut dapat rusak karena perlakuan yang salah, seperti pengeringan dan pembakaran. Bila dilakukan drainase secara berlebihan (over drain), maka lahan gambut akan mengalami subsidense (penyusutan, pemadatan, penurunan tanah gambut) rata-rata sebesar 5 cm per-tahun.
Kanalisasi di lahan gambut yaitu sistem drainase untuk menyalurkan air hujan, limbah manusia dan air limbah industri rumah tangga. Pola pengurasan dapat dilakukan tanpa membedakan jenis air yang disalurkan, atau dengan pola ganda yang memisahkan jenis-jenis air, atau dengan sistem selokan terbuka, dan dengan menyediakan sumur penampung atau sumur kontrol.
Kanal-kanal digali dengan maksud memberikan akses pada air tawar yang terdapat pada sungai-sungai besar untuk mencuci gambut, agar kandungan racun-racunnya berkurang. Namun yang terjadi sebaliknya, air yang terkandung dalam gambut justru mengalir ke sungai-sungai utama, melalui kanal-kanal tersebut sehingga pada musim kemarau gambut menjadi kering.
Menurut Monalisa, kanalisasi salah satu penyebab mudah terbakarnya lahan gambut. Ketika musim kemarau, dimana suplai air minim, deposit air yang ada di gambut akan mengalir ke kanal-kanal, karena posisinya yang lebih rendah.
“Akibat kanalisasi, ekosistem gambut akan kehilangan air, sehingga tanah turun akibatnya tidak ada penyangga,” terang Pendiri Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA) itu.
Selain kanalisasi, pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan juga dapat merusak lahan gambut. Jika pengolahan tidak dilakukan sesuai dengan karakteristik lahan gambut, produktivitasnya akan menurun drastis disertai, rusaknya ekosistem wilayah.
Produktivitas kelapa sawit dari tahun ke tahun akan terus menurun, walau pengembangannya berada di kawasan hutan rawa gambut maupun di tanah-tanah mineral di sekitarnya.
Sejak awal dilakukan pembukaan lahan untuk perkebunan, proses degradasi lingkungan sudah mulai berlangsung. Hal itu menyebabkan sering terjadinya banjir, akibat kerusakan ekosistem dan berubahnya iklim mikro lokal. Selain itu, juga menyebabkan musnahnya keanekaragaman hayati yang berfungsi mengendalikan populasi hama penyakit tanaman pertanian.
Hilangnya hutan rawa gambut, berarti hilangnya cadangan karbon. Pada lahan gambut tropis, drainase atau penurunan muka air tanah sampai 1 meter, akan menghasilkan emisi karbon sebesar 90 ton CO2/ha/ tahun. Akibatnya, keanekaragaman hayati, termasuk spesies langka semakin terancam punah.
Selain itu, juga meningkatnya resiko kebakaran hutan dan lahan, serta mendorong proses terjadinya pemanasan global.
“Mari kita jaga ekositem gambut untuk lingkungan yang lebih baik,” ajak Monalisa. (*)
Wartawan: Mellyan
Editor: Junaidi Mulieng