Kita harus berpikir, gambut itu mampu menghidupkan kita.
Haris Gunawan
POJOK GAMBUT | Deputi IV Badan Restorasi Gambut (BRG) Republik Indonesia, Haris Gunawan menilai, kondisi gambut Aceh saat ini sudah mulai rusak akibat kebakaran dan penanganan yang kurang tepat.
“Namun kondisi tersebut masih bisa diperbaiki,” ujar Haris, usai mengunjungi lokasi gambut di Gampong Rukun Damai, Kecamatan Babahrot Kabupaten Aceh Barat Daya, Jumat, 11 Desember 2020.
Haris menyampaikan, untuk memperbaiki kondisi gambut Aceh perlu pelibatan semua pihak. Mulai dari pemerintah daerah melalui regulasi yang tepat, masyarakat hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang intens bergerak di bidang gambut.
Ia menuturkan, ini merupakan kunjungan pertamanya ke Aceh sejak BRG terbentuk 2016 lalu. Kunjungan ini sebagai upaya untuk menghimpun informasi dan berdiskusi langsung dengan masyarakat di wilayah gambut.
“Dengan begitu, kami dapat mengetahui persoalan yang dihadapi masyarakat,” ujar Haris, didampingi pakar gambut Indonesia, Azwar Maas, staf BRG, Tim JMGA dan DLHK Aceh.
Meski Aceh belum menjadi kawasan kerja BRG, namun Haris merasa daerah ini juga perlu mendapat perhatian terkait perlindungan kawasan ekosistem gambut.
Haris menambahkan, saat ini BRG tidak hanya fokus pada persoalan penanganan gambut, tapi juga peningkatan ekonomi bagi masyakat yang hidup di wilayah gambut.
“Kita harus berpikir, gambut itu mampu menghidupkan kita,” tuturnya.
Pakar gambut Indonesia, Azwar Maas mengatakan, gambut memiliki potensi dan bagian dari keseimbangan alam. Karenanya pemahaman tentang kondisi gambut yang ada sangat diperlukan, sebelum melakukan sebuah tindakan.
“Setelah kita memahami, diperlukan penelitian lanjutan. Mulai dari kondisi sosial masyarakat, ekonomi dan semua aspek yang memiliki kaitan dengan gambut,” jelas guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) itu.
Azwar menerangkan, pada dasarnya pembentukan gambut di semua daerah sama, namun memiliki ciri tersendiri. Untuk itu, masyarakat harus benar-benar paham dengan kondisi gambut. Menurutnya, gambut akan mampu menghidupkan masyarakat jika mampu ditangani dan diperlakukan dengan baik.
“Masyarakat harus menyatu dengan gambut. Kita hanya perlu memahami apa yang diperlukan oleh gambut,” jelasnya.
Azwar menekankan, agar gambut tidak dibakar, karena hal itu bukan soslusi cepat. Sebaliknya, akan menjadi masalah yang sebenarnya.
“Pahami kondisinya, berikan apa yang dibutuhkan. Tanam tanaman yang mampu menghidupkan ekonomi dan gambut terjaga,” pesa Azwar.
Sementara itu, Pembina Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA), sekaligus Dosen di Fakultas Pertanian Unsyiah, Dr. Monalisa yang ikut mendampingi peninjau tersebut mengatakan, kehadiran BRG menjadi hadiah terindah bagi JMGA, sekaligus kado termewah bagi masyarakat di wilayah gambut.
“Terimakasih kepada BRG dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh yang sudah memberikan perhatian dan peduli terhadap ekosistem gambut. Ini yang ditunggu-tunggu sejak lama,” ucap Monalisa.
Ia berharap, 20 tahun ke depan, kondisi gambut Aceh akan lebih baik dan berdampak positif bagi ekonomi masyarakat, serta kemajuan Aceh.
“Untuk itu, diperlukan penguatan organisasi yang fokus pada gerakan gambut, karena banyak dinamika yang terjadi pada wilayah gambut dalam beberapa tahun ini,” ungkap Mona.
Mona menambahkan, JMGA terus bersemangat dan bertahan dengan adanya dukungan semua pihak, termasuk jaringan masyarakat gambut Sumatera, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan lainnya.
“Pemerintah Aceh tidak boleh tinggal diam, karena merupakan bagian penting motor penggerak pelindungan ekosistem gambut dunia dan itu wajib,” tekannya.
Selain itu, Mona berharap, pemerintah daerah juga ikut mendorong pertanian berkelanjutan di lahan gambut, sehinggga memberikan alternatif sumber ekonomi yang jauh lebih baik bagi masyarakat yang hidup di wilayah gambut. (*)
Wartawan: Nurul Fahmi
Editor: Junaidi Mulieng