Dari Sawit ke Jeruk

 Dari Sawit ke Jeruk

Tokoh masyarakat Sumber Bakti, Asmadi Jafar menunjukkan jeruk milik warga kepada tim JMGA. (POJOK GAMBUT/NURUL FAHMI).

Ada juga kejadian, masyarakat nebang sawit untuk tanam jeruk. Ingin ikut kawan-kawan yang sudah berhasil menanam jeruk


Sarkiman

POJOK GAMBUT | Perempuan itu menghentakkan kaki ke tanah berulang-ulang. Getarannya terasa hingga dua meter. Beberapa orang yang berdiri tak jauh darinya, ikut merasakan tanah sedikit bergoyang seolah truk besar sedang melintas. Mereka pun ikut menghentakkan kaki mengikuti gerakan perempuan berbaju merah itu.

Meski matahari cukup terik, Monalisa terlihat bersemangat menunjukkan ciri-ciri tanah gambut. Kendaraan roda empat yang mereka tumpangi, sudah tidak memungkinkan melintasi jalanan setapak penuh bebatuan, berlumpur dan sempit. Ketika setengah kilometer perjalanan dilalui dengan berjalan kaki, tiba-tiba rombongan berhenti.

“Gambut memiliki ciri fisik yang terdiri dari bahan penyusunnya berupa kayu-kayuan organik,” ujar Monalisa, menjelaskan salah satu ciri dari lahan gambut. Hari itu, ia mengenakan baju merah dengan jilbab warna senada.

Monalisa adalah ketua sekaligus pendiri Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA). Ia mengatakan, pada dasarnya gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami dari sifat-sifat tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dan terakumulasi di daerah rawa sejak ribuan tahun lalu.

Sejak menyelesaikan disertasinya tentang potensi gambut di wilayah Barat Selatan Aceh, gambut telah menjadi bagian paling penting baginya. Dosen Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala itu, ingin berbagi ilmu tentang potensi gambut yang luar biasa.

“Tidak seperti pemahaman masyarakat awam selama ini,” sambungnya.  

Tim JMGA saat berada di kebun jeruk warga Sumber Bakti, Kabupaten Nagan Raya. (POJOK GAMBUT/NURUL FAHMI)

Hari itu, Jumat, 11 September 2020, tim JMGA bersama Basajan.net dan beberapa warga desa melintasi ribuan hektar area perkebunan. Sepanjang perjalanan, sawit menjadi pemandangan yang tidak ada putusnya. Hari itu, tim bergerak menuju Desa Sumber Bakti (Seunaam 4) Kecamatan Darul Makmur Kabupaten Nagan Raya.

Ketika memasuki Desa Sumber Bakti, terlihat rumah-rumah warga dengan dinding arsitektur sederhana berbahan kayu beratap rumbia. Namun ada juga yang menggunakan dinding bata.

Desa Sumber Bakti berasal dari Transmigrasi IV Seuneuam pada masa Presiden Soeharto, yang penetapannya dilaksanakan pada April tahun 1995/1996 dengan jumlah penduduk 500 KK. Masyarakat Sumber Bakti sudah menetap di sana selama 24 Tahun.

Penduduk Desa Sumber Bakti berjumlah 1335 jiwa yang terdiri dari 337 kepala keluarga. Laki 701 jiwa dan perempuan 634 jiwa. Pada umumnya, penduduk Sumber Bakti bekerja di sektor pertanian, serta karyawan swasta perkebunan, pegawai negeri dan lain sebagainya.

Selain sawit, saat ini tanaman jeruk menjadi satu hal yang lumrah didapati di setiap halaman rumah warga. Selain di halaman rumah, masyarakat di sana juga telah membuka lahan perkebunan khusus untuk menanam jeruk.

Lokasi perkebunan hanya berjarak 20 menit perjalanan kaki dari perkampungan warga. Selain daun, jeruk Sumber Bakti juga berbuah lebat. Beberapa di antaranya sudah mulai kekuning-kuningan, ada juga yang jatuh berbaur tanah, menjadi pupuk alami bagi pohon.

Sarkiman, 41 tahun, sedang berada di saung dari papan kayu beratap anyaman pelepah rumbia, ketika tim JMGA tiba di kebun miliknya. Bekas kaleng cat, timba hitam, jerigen dan pakaian tampak berserakan di saung. Sarkiman menggunakan kaos putih dengan celana olahraga bergaris biru.

Sarkiman bersama Monalisa. (POJOK GAMBUT/NURUL FAHMI).

Awalnya Sarkiman tampak kebingunan, namun setelah menyadari tim JMGA yang datang, ia langsung menyambut dangan ramah. Sarkiman atau akrab disapa Kimo, menanam pohon jeruk di lahan gambut seluas 1 hektar. Awalnya ia menanam jeruk karena termotivasi kesuksesan adik iparnya yang juga petani jeruk.

“Nggak sekaligus tanam sampai segini, dari sedikit modal tanam 10 batang, selang dua bulan nambah 50 batang lagi. Alhamdulillah, bisa segini tanamanya,” ujar Sarkiman, menjelaskan.

Masa panen jeruk milik Sarkiman sekali dalam sebulan. Untuk sehektar kebun jeruk miliknya, ia memperoleh hasil panen hingga delapan ton tiap kali panen. Ia menjual dengan harga per kilo bervariasi, untuk jeruk matang Rp7.500, sedangkan untuk jeruk belum terlalu matang atau jeruk peras dihargai Rp5.000. Dalam sekali masa panen, ia mendapatkan omset Rp4 juta.

Bibit jeruk yang ditanam ia peroleh dari Pekan Baru. Untuk perawatan, Sarkiman menggunakan pupuk standar, jenis phonska. Jenis pupuk ini memiliki sebutan majemuk NPK, yang terdiri dari beberapa unsur hara makro, yaitu nitrogen (N), phosphor (P), kalium (K) dan sulfur (S). Pupuk ini banyak digunakan oleh petani, karena mampu meningkatkan hasil panen dan kualitas.

Bapak empat orang anak itu menyayangkan kondisi lahan di wilayah Seuneam saat ini yang semakin berkurang, karena sudah banyak yang dialihfungsikan menjadi kebun sawit.

“Ada juga kejadian, masyarakat nebang sawit untuk tanam jeruk. Ingin ikut kawan-kawan yang sudah berhasil menanam jeruk,” kisahnya.

Sarkiman mengatakan, petani di Seuneuam, Sumber Bakti belum memiliki pengetahuan yang baik dalam pengelolaan kebun jeruk dan metode perawatan tanah agar tetap subur untuk tanaman. Karenanya, ia sangat antusias dan senang saat mengetahui adanya pembinaan budidaya tanaman jeruk di Desa Seuneuam.

“Kalau untuk pembinaan, saya sendiri sangat berharap, karena itu sangat perlu bagi kami yang masih awam ini,” ujarnya.

Sarkiman mengaku sedikit kesulitan dalam membasmi hama pada jeruk miliknya. Menurutnya, hama seperti walang sangit dan sejenis jamur yang membuat rontok batang, agak sulit dihilangkan.

Meski kualitas jeruk Seuneuam tak kalah jauh dari jeruk Brastagi, Medan, namun petani masih kesulitan untuk memasarkan hasil panen. Saat ini, pemasaran masih di sekitar Blang Pidie dan Meulaboh.

“Permintaan tinggi, tapi hanya sedikit warga yang menanam jeruk,” sesal Sarkiman.

Potensi Melimpah Sumber Bakti

Menurut Monalisa, Desa Sumber Bakti memiliki potensi alam melimpah, salah satunya lahan gambut. Pada lahan gambut berbagai tanaman dapat tumbuh, termasuk beberapa jenis budidaya tanaman kebun (hortikultura), seperti sayur-sayuran. Namun, yang lazim ditanam adalah jagung, nenas, jeruk, pisang, nipah atau sagu.

“Tergantung kedalaman gambutnya, untuk gambut dengan kedalaman tertentu biasanya tanamannya berbeda lagi,” jelas Monalisa.

Tim JMGA saat mengukur kedalaman gambut di Sumber Bakti. (POJOK GAMBUT/NURUL FAHMI)

Tidak semua masyarakat dapat memanfaatkan lahan gambut dengan baik, karena itu JMGA hadir dan memberikan pembinaan kepada masyarakat agar mengetahui dan dapat menjaga, serta memanfaatkan potensi yang tersimpan di lahan gambut.

JMGA berencana untuk melakukan pembinaan kepada masyarakat, sehingga Sumber Bakti dapat menciptakan produk yang layak dipasarkan. Secara bertahap, pihaknya terus mengadakan pelatihan dan pembinaan yang sesuai dengan keinginan masyarakat.

Mona mengatakan, Sumber Bakti memiliki sumber daya gambut yang luar biasa. Menurut hasil survei Tim Kerja Pengendalian dan pengolahan Ekosistem Gambut (TK-PPEG) pada tahun 2016, luas wilayah Sumber Bakti adalah 1.009,5 ha. Tanah di kawasan tersebut digunakan sebagai pemukiman penduduk, lahan pertanian dan lainnya.

Luas lahan gambut dan penggunaan tanah di Desa Sumber Bakti meliputi, luas pemukiman penduduk 259,5 ha, lahan usaha seluas 250 ha, lahan gambut 250 ha dan lahan mineral 250 ha.

Mona menjelaskan, jika potensi gambut tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka akan terjadi perubahan geofisik gambut. Karenanya, sangat penting melakukan pemberdayaan masyarakat dengan cepat dan memberikan pengetahuan terkait pelestarian gambut.

Steering Comitte Green Youth Camp (GYC) KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau) Sumatera Utara itu menuturkan, JMGA hadir membawa ide dan inovasi, dan akan terus menjadi fasilitator untuk Gerakan perubahan dan perkembangan petani di sumber bakti.

Menurut Mona, secara perlahan sudah banyak perubahan yang ditunjukkan petani Sumber Bakti. Pada tahun 2019, masyarakat mulai beralih ke komoditas selain sawit.

“Banyak yang termotivasi setelah melihat petani lain yang sukses dengan jeruk,” sebutnya. Rendahnya harga jual sawit di pasaran, juga menjadi faktor lainnya.

“Selain jeruk, Sumber Bakti juga memiliki banyak potensi alam lain di wilayah sungai, seperti lele, nila dan berbagai jenis ikan lainnya,” kata Mona, sambil sesekali mengelap keringat yang mulai mengalir di pelipisnya.

Karena itu, JMGA menargetkan agar masyarakat Sumber Bakti bisa bergabung di tim. Selain jeruk, mereka juga dapat mengembangkan komoditi tumbuhan lainnya, seperti jahe, pete dan porang yang tergolong baru di Aceh.

“Seperti yang telah dilakukan oleh salah satu warga Sumber Bakti, Asmadi Jafar, yang tetap dalam binaan JMGA,” paparnya.

Mona meyakini, jeruk menjadi salah satu tanaman potensial di lahan Gambut Sumber Bakti, karena itu JMGA wajib melindungi dan akan terus mengawal, dengan tetap melakukan pemantauan dan pembinaan untuk petani jeruk di sana.

Ia berharap, hasil kekayaan di Sumber Bakti bisa diolah dan menghasilkan berbagai produk untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

“Jika kita dapat menjaga satu titik gambut saja, kita bisa berkontribusi untuk daerah-daerah disekitarnya. Harapan kita, tidak hanya gambut wilayah Rawa Tripa, tapi juga seluruh gambut Aceh,” harapnya.

Monalisa saat berada di kebun jeruk warga Sumber Bakti. (POJOK GAMBUT/NURUL FAHMI).

Monalisa menargetkan, pada tahun 2022, Gampong Sumber Bakti dapat menjadi desa percontohan sebagai wisata gambut Aceh berbasis ekonomi kemasyarakatan dan pelestarian ekosistem gambut.

Rizki Alif Maulana terlihat sangat antusias. Ia tak menyianyakan waktu untuk melihat secara langsung batang-batang jeruk yang tumbuh subur dan ikut memetik buahnya.

Mahasiswa Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian Unsyiah itu mengaku, baru pertama kali melihat pohon jeruk. Selama ini, ia hanya melihat buah jeruk yang dijual di pasar, tanpa mengetahui bagaimana bentuk pohonnya.

Sukaena berkulit putih langsat, giginya rapi, wajahnya cantik natural tanpa sapuan makeup tebal. Ia putri sulung Sarkiman. Saat ini sedang menempuh Pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.

Gadis yang akrab disapa Kennah itu, telah merasakan sendiri manfaat lahan gambut selain untuk kebun sawit.

“Peningkatan ekonomi keluarga cukup terasa, sejak ayah mulai menaman jeruk,” ujarnya.

Kennah memiliki keinginan agar kebun jeruk milik ayahnya dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata. Namun ia menyadari, kurangnya fasilitas seperti infrastruktur jalan yang belum memadai, menjadi kendala terbesar saat ini.

“Masih harus dilakukan peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur agar keinginan tersebut dapat tercapai,” harap Kennah. (*)

Wartawan: Mariani

Editor: Mellyan

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published.