Aktivis Gambut Harap Aceh Masuk Wilayah Kerja BRG

 Aktivis Gambut Harap Aceh Masuk Wilayah Kerja BRG

Foto: Isnadi Esman/Bidikan Layar Zoom.

Karena dalam pandangan saya, Aceh harus dimasukkan sebagai salah satu wilayah prioritas restorasi gambut nasional.

Isnadi Esman

POJOK GAMBUT | Aktivis gambut dari Jaringan Masyarakat Gambut (JMG) Sumatera, Isnadi Esman berharap Aceh masuk wilayah prioritas Badan Restorasi Gambut (BRG) dalam pengelolaan dan restorasi gambut di Indonesia.

“Bahkan sekarang pun, BRG yang sudah berubah nama menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), Aceh juga tidak masuk dalam prioritas itu,” ungkap Isnadi.

Hal itu disampaikan Isnadi pada Webinar Nasional Peran Milenial dalam Pengelolaan Gambut Aceh, yang dilaksanakan Basajan.net dan Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JGMA), Senin, 25 Januari 2021.

Kegiatan yang berlangsung secara online melalui aplikasi Zoom itu, diikuti puluhan peserta dari berbagai kalangan. Mulai dari akademisi, mahasiswa, aktivis lingkungan, hingga unsur pemerintah dan dinas terkait.

Isnadi menyampaikan, dirinya tak tahu pasti kenapa Aceh tidak masuk dalam prioritas BRGM. Ia menyarankan, Pemerintah Aceh dan unsur terkait beserta aktivis yang tergabung dalam jaringan masyarakat gambut, melakukan pertemuan khusus dengan BRGM untuk membahas hal tersebut.

“Karena dalam pandangan saya, Aceh harus dimasukkan sebagai salah satu wilayah prioritas restorasi gambut nasional,” ujarnya.

Berdasarkan data dari laman resmi BRG disebutkan, pada 22 Desember tahun lalu, BRG resmi berubah nama menjadi BRGM setelah Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 120 Tahun 2020 Tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Lembaga Nonstruktural ini melanjutkan kerja Badan Restorasi Gambut yang habis masa tugasnya. Sebelumnya, BRG dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016.

Dalam PP terbaru tersebut, BRGM juga diberi tugas melaksanakan percepatan rehabilitasi mangrove di sembilan provinsi, yaitu Sumatera Utara, Riau, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Papua dan Papua Barat.

Sedangkan restorasi gambut tetap dilaksanakan pada tujuh provinsi, yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua. Bahkan Riau, Kalimantan Barat dan Papua menjadi lokus kerja yang beririsan untuk restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.

Pemerintah memandang upaya percepatan restorasi gambut perlu dilanjutkan. Salah satu pertimbangannya, karena pemerintah telah menetapkan kebijakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan secara permanen termasuk di area gambut.

Di samping itu, Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan pemulihan mangrove melalui rehabilitasi. Diperlukan percepatan implementasi pelaksanaannya, sehingga BRGM diberikan tugas untuk ini.

Isnadi mengatakan, meski Aceh tidak masuk ke dalam wilayah prioritas restorasi gambut, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menyurutkan semangat penyelamatan gambut di Aceh.

“Jika kita berkomitmen menjaga dan memberikan perhatian khusus dalam restorasi gambut, maka gambut Aceh juga akan terjaga,” ucapnya.

Isnadi berpendapat, milenial memiliki peran dan potensi besar dalam menyelamatkan gambut. Selain itu, jaringan masyarakat gambut juga harus saling membangun kerjasama dan menyatukan kekuatan untuk memberikan pengetahuan terkait advokasi tentang gambut.

“Di samping kegiatan restorasi dan perlindungan ekosistem, kerja di gambut baru dianggap berhasil ketika kesejahteraan dirasakan oleh masyarakat yang menetap di kawasan gambut,” tekannya.

Karenanya ia berpesan, setiap program yang dijalankan haru fokus pada penguatan peran dan fungsi masyarakat dalam menjaga gambut.

Tidak masuknya Aceh dalam wilayah prioritas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove, juga ikut dikomentari pakar hukum Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Kurniawan. Menurutnya, menjadi satu keanehan ketika Aceh tidak masuk dalam prioritas BRGM.

Awalnya ia mengira, tidak masuknya Aceh dalam prioritas BRGM, karena Aceh memiliki kekhususan dan keistimewaan tersediri dalam restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.

“Namun setalah saya kaji kembali beberapa produk hukum yang ada, tidak ada kekhususan tentang itu. Semuanya menjadi kewenangan pemerintah pusat,” terang Kurniawan dalam paparannya tentang Aspek Hukum Perlindungan dan Pengelolaan Gambut di Aceh serta Tanggung Jawab Masyarakat.

Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) itu menyarankan, aktivis lingkungan, terutama yang bergerak di gambut, dapat duduk bersama dengan seluruh pemangku kepentingan agar Aceh bisa dimasukkan dalam prioritas restorasi gambut dan rehabilitasi mangrove.

“Dalam amatan saya, ekosistem gambut di Aceh saat ini sedang terancam,” ujar Kurniawan.

Selain Isnadi Esman dan Kurniawan, webinar perdana JMGA bersama Basajan.net juga diisi oleh Riski Alif Maulana, Pengurus Jaringan Masyarakat Gambut Aceh (JMGA). Kegiatan yang dipandu Manager Program Pojok Gambut, Nurul Fahmi ini, dibuka langsung oleh Pembina JMGA, Monalisa. (*)

———————————————————————————————————————————————-

Wartawan: Junaidi Mulieng

Editor: Junaidi Mulieng

Related post